Sebagai makhluk ciptaan Allah, manusia dibekali potensi yang dapat dimanfaatkannya dalam menjalani kehidupannya menuju ke arah positif atau negatif yang dicita-citakannya. Namun Allah telah memberi petunjuk tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia, dan ia juga diberi kebebasan untuk memilih di antara keduanya. Allah berfirman:
“Dan (demi) jiwa serta penyempurnaannya. Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya”( Q.S. al-Syams:7-10).
“Siapa yang hendak beriman, silahkan beriman. Siapa yang hendak kafir silahkan juga kafir” (Q.S. al-Kahfi:29).
Penjelasan al-Qur`an tentang potensi positif dan negatif yang ada pada diri manusia tidak berarti menunjukkan adanya perten- tangan satu dengan lainnya, akan tetapi untuk menunjukkan beberapa kelemahan manusia yang harus dihindari. Disamping itu untuk menunjukkan pula bahwa manusia memiliki potensi untuk
menempati tempat tertinggi sehingga ia terpuji, atau berada di tempat yang rendah, sehingga ia tercela (Shihab, 1996:282).
Tim Dosen PAI UM (2011:40-41), menyebutkan potensi positif dan negatif manusia yang diterangkan di dalam al-Qur‟an, antara lain, meliputi:
a. Potensi positif, diantaranya:
1) Manusia memiliki fitrah beragama tauhid, yakni bertuhan hanya kepada Allah (Q.S. al-Rum:30).
2) Manusia diciptakan dalam bentuk dan keadaan yang sebaik- baiknya (Q.S. al-Tin:5).
3) Manusia adalah makhluk Allah yang paling mulia (Q.S. al- Isra‟:70)
4) Manusia adalah makhluk Allah yang terpintar (Q.S. al- Baqarah:31-33, al-Naml:38-40)
5) Manusia adalah makhluk Allah yang terpercaya untuk memegang amanat (Q.S. al-Ahzab:72)
b. Potensi negatif, antara lain:
1) Manusia adalah makhluk yang lemah (Q.S. al-Nisa‟:28)
2) Manusia adalah makhluk yang suka keluh kesah (Q.S. al- Ma‟arij:19)
3) Manusia adalah makhluk zalim dan ingkar ( Q.S. Ibrahim:34)
4) Manusia adalah makhluk yang suka membantah (Q.S. al- Kahfi:54)
5) Manusia adalah makhluk yang suka melewati batas (Q.S. al- Alaq:6-7) dan lain lain.
Lebih lanjut TIM Dosen PAI UM (2011: 41—45) mengemu- kakan bahwa potensi positif atau negatif manusia dapat diketahui melalui uraian tentang fitrah, nafsu, qalb dan akal, sebagai berikut.
1. Fitrah
Fitrah diartikan sebagai penciptaan atau kejadian. Ini berarti bahwa fitrah manusia adalah kejadiannya sejak semula atau bawaan sejak lahir yang merupakan penciptaan Allah. Q.S. al-Rum:30 menyebutkan fitrah manusia itu.
“Maka hadapkanlah wajahmu kepada agama (pilihan) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia atas fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.”
Ayat di atas menjelaskan bahwa manusia sejak awal kejadiannya membawa potensi agama yang lurus (tauhid) dan tidak dapat menghindari dari fitrah itu. Ini berarti bahwa fitrah keaga- maan akan tetap melekat pada diri manusia untuk selamalamanya. Dengan kata lain manusia menurut fitrahnya adalah makhluk beragama (mempercayai keesaan Tuhan). Apabila ini dipelihara dan dikembangkan, maka seseorang akan dapat mewujudkkan potensinya ke arah yang positif. Namun tidak sedikit di antara manusia yang ternyata mengabaikannya, sehingga membuat dirinya cenderung ke arah yang negatif.
2. Nafs (Nafsu atau Jiwa)
Nafs dapat diartikan sebagai syahwat (nafsu) dan juga dapat diartikan sebagai jiwa. Secara umum dapat dikatakan bahwa nafs menunjuk kepada sisi dalam manusia yang berpotensi baik dan buruk, yang diciptakan Allah dalam keadaan sempurna dan berfungsi menampung dan mendorong manusia berbuat kebaikan dan keburukan (Shihab, 1996:286). Dalam hal ini, al-Qur`an melalui surat al-Syams:7-10 menganjurkan untuk memberi perhatian yang besar pada nafs. Melalui ayat ini Allah mengil-hamkan kepada manusia melalui nafs, agar dapat menangkap kebaikan dan keburukan, serta mendorong manusia untuk menyucikan nafs.
Nafs yang mendorong manusia untuk melakukan kebaikan dinamakan nafs al-mutmainnah, sedangkan yang mendorong untuk melakukan keburukan dinamakan nafs al-lawwamah. Para kaum sufi mengatakan bahwa nafsu adalah sesuatu yang melahirkan sifat tercela dan perilaku buruk, yang mendorong manusia berbuat jahat (Q.S. Yusuf:53). Apabila nafsu itu diperturutkan maka akan merusak segalanya (Q.S. al-Mukminun:71). Allah akan mencabut iman dari diri seseorang yang menuruti hawa nafsunya untuk berzina dan minum khamr.
“Barangsiapa berzina atau minum-minuman keras, Allah mencabut daripadanya akan iman, seperti melepaskan seseorang akan bajunya dari kepalanya” (HR. al- Hakim juz 1 hal. 72).
Pada hakikatnya potensi positif manusia lebih kuat dari potensi negatifnya, namun daya tarik keburukan lebih kuat dari daya tarik kebaikan. Karenanya manusia dituntut untuk memelihara kesucian nafsu dan tidak mengotorinya (Q.S. al-Syams:9-10). Dengan kata lain Islam tidak menganjurkan untuk membunuh nafsu, melainkan mengendalikan dan mengolahnya serta mengarahkannya kepada nilai-nilai yang mempertinggi derajat kemanusiaanya.
Bagaimanapun juga nafsu tetap dibutuhkan manusia, sebab kalau nafsu tersebut dibunuh sehingga manusia tidak lagi memiliki nafsu (seperti nafsu makan dan nafsu syahwat), maka akan menyebabkan manusia tidak bisa bertahan hidup dan akhirnya akan musnah.
3. Qalb (hati)
Pada umumnya orang mengartikan qalb itu sebagai hati. Secara bahasa, qalb bermakna membalik, karena sering kali berbolak-balik, terkadang senang, terkadang susah, ada kalanya setuju, ada kalanya menolak. Dengan demikian qalb berpotensi tidak konsisten, ada yang baik ada pula sebaliknya. Baik atau buruknya sifat seseorang sangat ditentukan oleh qalbnya. Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya dalam diri manusia terdapat segumpal daging. Apabila (segumpal daging itu) baik, maka baiklah seluruh dirinya. Dan apabila buruk, maka buruklah seluruh dirinya. Ketahuilah, segumpal daging itu adalah qalb (hati).” (H.R. Bukhori juz 1 hal. 20).
Qalb atau hati yang baik akan memberi pengaruh kepada sifat- sifat seseorang untuk melakukan tindakan yang terpuji, yang disebut al-qolb al-salim atau al-qalb al-nurany. Ini terjadi jika orang tersebut menghiasi hatinya dengan kekuatan iman dan sifat terbaik yang selalu berada dalam ridha Allah. Kalau demikian halnya ia akan dapat mewujudkan kebaikan dalam hidupnya, sehingga ia akan merasakan hidup yang bahagia, tenang, dan sejahtera.
Sebaliknya apabila qalb itu buruk, akan menghasilkan sifat-sifat yang tidak terpuji. Manusia yang hatinya demikian akan memperturutkan ajakan nafsu dan bisikan syetan, sehingga hatinya menjadi busuk dan kotor, penuh dengan penyakit. Ia tidak mampu menerima hidayah Allah, akibatnya dengan mudahnya ia melakukan
pelanggaran terhadap ketentuan Ilahi dan berbuat dosa. Hal ini akan mencelakakan dirinya, karena ia akan merasakan kesengsaraan dalam hidupnya baik di dunia maupun di akhirat.
Dari uraian di atas tampak dengan jelas, bahwa qalb (hati) merupakan bagian yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Karena itu hati harus terus dirawat dan dipelihara serta dihindarkan dari penyakit yang dapat menyengsarakan hidup. Harus ada usaha untuk menjaga kebersihan dan kejernihan hati agar senantiasa berada di bawah ridha dan naungan Ilahi.
4. Aql (akal)
Menurut Quraish Shihab (1996:294), aql atau akal diartikan sebagai pengikat, penghalang. Maksudnya ialah sesuatu yang mengikat atau menghalangi seseorang agar tidak terjerumus ke dalam kesalahan atau dosa. Selanjutnya akal dapat dipahami antara lain sebagai:
1) Daya untuk memahami dan menggambarkan sesuatu (Q.S. al- Ankabut:43).
2) Dorongan moral.
Dorongan moral tidak lain merupakan potensi manusia untuk tidak melakukan perbuatan yang tidak dibenarkan atau dilarang oleh agama.
3) Daya untuk mengambil pelajaran dan kesimpulan serta hikmah.
Dengan daya ini manusia memiliki kemampuan untuk memahami, menganalisis dan menyimpulkan berdasarkan dorongan moral yang disertai kematangan berpikir.
Manusia harus mampu menggabungkan kemampuan berpikir dengan dorongan moral agar apa yang ia lakukan dapat menghasilkan sesuatu yang positif. Sebab, apabila ia tidak mampu menggabungkan keduanya, maka akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkannya, terutama jika dorongan moral itu diabaikan. Bila ini terjadi, dengan mudahnya orang tersebut akan melakukan perbuatan yang menyimpang, yang berakibat dosa dan merugikan dirinya sendiri, karena ia akan menjadi penghuni neraka (Q.S. al-Mulk:10).
Komentar
Posting Komentar
Terimakasih telah berkontribusi, selalu ikuti kami melalui sebuah tulisan