Bagian 1: Sistem Pendidikan dan Ragam Pergantian Kepemimpinan Indonesia
Ketika Indonesia mencanangkan Indonesia Emas pada tahun 2045 pada saat usia Indonesia 100 tahun merdeka rasanya iya-iya tidak untuk bisa mencapainya, banyak aspek yang perlu dilihat dan dikaji sebelum menobatkan Indonesia Emas tahun 2045. Bukan suatu hal yang muluk namun semua harus difikir, disiapkan bahkan difikirkan secara rasional.
Coba kita mulai pembahasan mulai dari persiapan, jika sekarang tahun 2024 maka kurang 21 tahun lagi penobatan itu harusnya didapatkan, bila kita memiliki generasi pemuda untuk disiapkan, sekaranglah memulai waktu yang tepat, sebab diumur 21 tahun nanti, pemuda sudah mulai berkontribusi. Itu kalau kita lihat dari pemuda yang masih berumur 0 tahun dari sekarang.
Lalu bagaimana, dengan pemuda yang sekarang masih mencari jati diri. Ini berkisar antara umur 13-19 tahun, ini antara jenjang pendidikan smp-kuliah. Ini adalah waktu dimana seorang murid nanti akan menjadi manusia produktif ketika Indonesia digadang akan mengalami keemasan pada tahun 2045.
Kita mulai mendalam dalam rangka persiapan ini, tentu dalam rangka persiapan adalah aspek crowded atau fokus utama. Sebab, persiapan terbaik adalah belajar dan yang bisa paling berperan adalah instansi pendidikan atau bahkan lebih spesifik lagi seorang guru. Namun nyatanya kondisi pendidikan mulai diperlakukan tidak serius, lalu bagaimana tujuan Indonesia emas 2045 itu bisa diraih.
Lagi-lagi situasi politik masih menjadi tren isu masyarakat Indonesia belakangan ini, mulai dari Pileg dan Pilpres yang penuh ketegangan panggung sandiwara telah mengalihkan isu pendidikan yang dirasa penting untuk diperhatikan dan ditangani, belum lagi disambung pilkada beserta dinamikanya setelah itu. Seolah-olah isu politik ini menjadi arus perhatian pearalihan, tidak mengatakan semua namun minim yang masih menyuarakan pendidikan karena masih belum dianggap isu strategis.
Belum lagi, skema perubahan pemerintahan identikanya juga perubahan kebijakan. Inilah yang kemudian dirasa lagi membuat sistem pendidikan terombang-ambing, logika dasarnya suatu sistem pendidkan belum dirasakan berhasil dan tidaknya namun sudah diganti. Seperti orang memasak belum selesai stepnya sudah dibuang sebelum dimakan dan dirasakan hasilnya. Nah ini akan menjadi piring kotor serta alat dan bahan dapur terbuang sia-sia, itulah yang terjadi di negara kita saat ini.
Lebih dari itu, bila dibahasa pada jenjenag pendidikan mulai dari SMP sampai diperguruan tinggi diakui atau tidak sistem pendidikan dilingkungan pendidikan tinggi masih jauh dari kata efektif. Misalnya pragmatisme pendidikan tidak menjadi konsep utama lagi. Kebanyakan pendidikan tinggi dituntut memiliki luaran dan prestasi pragmatis, sehingga lembaga perguruan tinggi mau tidak mau harus pragmatisme menghasilkan mahasiswa yang didik menjadi alat menciptakan suatu produk industri dan teknologi. Alih-alih manusia sendiri bingung juga dengan pesatnya teknologi yang akan mengalahkan manusia.
Jarang sekali menjumpai sekarang mahasiswa yang berjiwa sosial, negarawan, nasionalis atau apalah yang berhubungan dengan peningkatan daya akal budi yang baik dan memiliki cita-cita seperti para pendiri bangsa, jiwa Soekarno, Bung Tomo, Tan Malaka atau bahkan Sutan Syahrir atau yang lain. Mahasiswa lebih bangga teralifiliasi untuk menjadi silent major, menjadi konten kreator dan bahkan menemukan sederet aplikasi yang mungkin hanya bertahan saat dia kulia saja, setelah itu hanya menjadi cerita dan kembali ke profesi karyawan. Lagi-lagi idealisme itu dibunuh.
Disisi lain, sistem pendidikan perguruan tinggi telah mengalihkan fokus mahasiswa yang idealis untuk memikirkan negara ini dengan kurikulum yang berbasis proyek, menghasilkan luaran teknologi dan industri atau bahkan segudang deretan prestasi yang hanya mencakrawala didunia akademis namun sanggat asing bila dibawa ke masyarakat bawah. Saya tak mempermasalahkan prestasinya, namun ini tak jauh dari orde baru ke reformasi ketika manusia dibungkam untuk berfikir kritis terhadap dinamika para penguasa bangsa yang bertindak tidak-tidak.
Pada intinya, sistem pendidikan yang digemborkan sebagai Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila ini harus diterjemahkan detail. Akhirnya guru memiliki peranan masing-masing dan serta mampu beropini 'siapa berbuat apa' artinya guru berperan sesuai bidang keahliannya masing-masing yang mengarahkan/ mendampingi anak didiknya untuk berfikir kritis dan menitikberatkan pada akal budi dan pemikiran.
Bagian 2 : Degradasi Perlakukan Guru : Hukum Dijadikan Alat Untuk Menepis Tudingan Murid Durhaka
Ini juga lagi marak, kasus guru dilaporkan wali muridnya karena dikatakan melakukan kekerasan. Saya memang tidak sepakat bahwa dunia pendidikan harus bermetode pada kekerasan yang amat berlebihan, namun juga tidak membenarkan bahwa wali murid yang keterlaluan menyikapi hal ini tanpa adanya pertimbangan dan analisis yang mendasar.
Jangan salahkan, mungkin akibat dari guru yang seperti ini adalah manifestasi pada sistem pendidikan yang kurang tepat itu. Tidak bisa dipungkiri guru adalah produk dari pendidikan itu sendiri, pendidikan yang tepat akan menghasilkan guru yang tepat. Jadi lagi-lagi pembahasan diatas itu tidak hanya berujung pada kemajuan negara, subjektivitas murid namun juga terhadap produk dari kualitas guru itu sendiri secara personal.
Oke kita kembali ke topik lagi, era sekarang ini banyak guru yang dilaporkan oleh wali muridnya dengan tudiangan kekerasan dengan berdalih pada pembenaran beberapa pasal perlindungan anak. Bahkan ada yang memanfaatkan kepentingan ini untuk meraup keuntungan, misalnya dalam tuntutan denda yang tidak logis. Baik tidak logis secara perbuatan guru maupun kondisi guru itu sendiri. Maksudnya tidak sesuai perbuatan guru adalah misalnya ketika guru melakukan pemukulan namun tidak ada luka yang berat dalam kenyaatannya dendanya tidak cukup sebagai ganti pengobatan saja namun juga untuk meraup keuntungan, bila dalihnya adalah untuk membuat jera, anda apakah berfikir bagaimana kalau guru ini mogok dalam mengajar.
Mungkin anda bisa beranggapan memindahkan anaknya disekolah lain, lalu bagaimana jika anda telah viral dalam dunia pendidikan, akibatnya anak anda dibacklist dari instansi pendidikan manapun, atau bahkan anak anda mendapatkan bullying dari temanya telah memiliki orangtua seperti anda. Jangan lupa guru memiliki solidaritas yang tinggi antar sesama guru lainnya apalagi guru honorer.
Lalu, maksudnya tidak logis dari kondisi guru adalah bahwa guru tersebut honorer, bahkan gajinya dalam hidupnya saja tidak akan cukup. Sudah begitu diharusnya untuk membayar denda yang sedemikian besarnya, ini adalah suatu kejahatan moral yang amat dalam. Seharunya anda berfirkir sebagai orangtua untuk berfikir lebih dalam lagi tentang sebab akibat dari perlakuan guru terhadap anak anda.
Dalam sebuah podcast antara Prof. Mahfud MD bersama Deddy Corbuizer di Channel Mahfud MD Official sempat disinggung terkait maraknya guru yang dipolisikan oleh walimurid karena dianggap kekerasan. Prof. Mahfud mengatakan cikal bakal pasal perlindungan anak tersebut sebenarnya ditujukan untuk kasus-kasus yang amat besar. Sedangkan sekarang ini hukum sudah mulai di politisasi, kadang dibesar-besarkan demi balas dendam.
Prof. Mahfud memilik pendapat bahwa memang harus dikaji ulang. Saya pun demikian, bagi saya aparat penegak hukum harus selektif dalam konteks yang akan diperkarakan sehingga wali murid tidak mudah dikit-dikit melaporkan, tentu memang ada proses mediasi atau restorative justice, namun alangkah baiknya saat pelaporan itu ada kalanya laporan ditolak atau bagaimana sehingga muncul presepsi publik bahwa tidak semua kasus mentang-mentang harus berurusan dengan kepolisian, kejaksaan atau instansi terkait lainnya.
Peran Dinas Sosial, MGMP atau kelompuk guru, lembaga bantuan hukum pemerhati guru harus bersinergi mendesak birokasi dan tata prosedur dalam menyikapi kasus seperti ini. Sebab, yang mengerikan adalah ketika wali murid yang memiliki hegemoni dan dominasi tinggi atau bahkan kenal dengan pejabat melawan guru biasa yang sangat lugu maka ini adalah sesuatu yang jomplang bila tidak dibackup oleh seseorang yang mahir dibidang itu. Urgensitas Perda dan aturan secara rinci bahkan gambaran jelas batasan-batasan guru dikatakan melakukan kekerasan itu seperti apa, inilah yang harus dirumuskan untuk mudah diterjemahkan.
Setelah ada prosedur yang jelas, tak perlu menafsirkan pasal yang masih holistik maka point-point itu tadi dilakukan sosialisasi masif bagi guru dan instansi pendidikan. Maka jelas, bila ada kasus A secara deskripsi A, dengan indikator A sehingga hukumannya itu A. Jangan hanya deskripsi atau pengertian yang masih general atau umum.
Komentar
Posting Komentar
Terimakasih telah berkontribusi, selalu ikuti kami melalui sebuah tulisan