A. Perbandingan Agama (Muqaranah Al-Adyan)
1. Yahudi
Yahudi adalah agama tertua di antara agama-agama Semitik (Ibrahimiah). Agama ini telah hidup hampir 4000 tahun dalam periode-periode yang ditandai oleh perubahan, baik yang evolu- sioner maupun revolusioner. Meskipun penyebar sebenarnya agama Yahudi adalah Nabi Musa AS, orang Yahudi ortodoks memandang bahwa agama mereka itu bermula dari Nabi Ibrahim AS, nenek moyang mereka. Ibrahim AS adalah Bapak Monoteisme, karena ia adalah pioner tradisi monoteistik yang diikuti oleh keturunannya dan banyak bangsa di dunia ini.
Tradisi monoteistik yang diperjuangkan Ibrahim AS dan keturunannya (Ishaq AS, Ya‟qub AS, dan seterusnya) mendapat tantangan dari kepercayaan kafir dan syirik. Suku-suku bangsa lain tetap menyembah Tuhan-Tuhan mereka sendiri. Suku-suku bangsa Kanaan mempunyai Baal-Baal; orang Mesir mempunyai Ra, Osiris, dan Amon; dan orang Aegea masih mempunyai Tuhan-Tuhan lain. Agama Israil pada masa itu dirusak oleh kepercayaan animisme, penyembahan nenek moyang, sihir, dan kepercayaan terhadap Tuhan-Tuhan antropomorfis (jelmaan).
Dalam situasi krisis sosial dan keagamaan itu, lahirlah seorang bayi Israil di Mesir yang diberi nama Musa. Bayi yang selamat dari pembunuhan yang diperintahkan oleh Fir‟aun (Ramses II, berkuasa sekitar 1279 - 1212 SM) itu kelak menjadi pemimpin besar Yahudi yang berjuang membebaskan mereka dari kekejaman Fir‟aun. Tokoh yang hidup pada abad ke-13 SM itu adalah pahlawan pembebasan dan bapak yang sebenarnya dari orang Yahudi. Bila inspirasi monoteistik asli datang dari Nabi Ibrahim AS, maka Nabi Musa AS adalah orang yang membuka, menetapkan, dan mengukuhkan pandangan hidup keagamaan itu.
Nabi Musa AS tidak hanya memimpin pembebasan Israil keluar dari perbudakan Fir‟aun dan bangsa Mesir, tetapi ia juga membawa mereka kepada perjanjian dengan Tuhan mereka, yaitu Yahweh di Gurun Sinai. Di gurun itu, ia menerima Sepuluh Perintah (Ten Commandments) dari Tuhan. Perintah pertama dan kedua menetapkan prinsip monoteisme dan menentang penyembahan berhala. Kedua perintah itu berbunyi sebagai berikut: “Janganlah ada Tuhan-Tuhan lain di hadapan-Ku” dan “Janganlah membuat bagimu patung yang menyerupai apa pun yang ada di langit atas, atau yang ada di bumi bawah, atau yang ada di dalam air. Janganlah sujud menyembah kepadanya, karena Aku, Tuhanmu adalah Tuhan yang pencemburu” (Keluaran 20:3-5).
Doktrin paling esensial dan sistem kepercayaan yang dianut dan diperjuangkan Nabi Musa AS adalah monoteisme. Ia melan- jutkan tradisi monoteistik yang diajarkan Nabi Ibrahim AS. Baginya, Tuhan adalah satu, tidak ada Tuhan selain Dia. Namun sepeninggal Musa AS, takhayul dan pemujaan berhala semakin meningkat dari tahun ke tahun, sehingga penyembahan Yahweh dirusak oleh penyembahan Baal-Baal Funisia dan Kanaan, termasuk di dalamnya konsep „Uzair sebagai anak Allah. Karenanya sejak abad ke-9 SM, agama Yahudi sangat membutuhkan pembaruan keagamaan dari dalam. Fenomena sosial-keagamaan ini direkam Al-Qur‟an melalui ayat berikut ini:
“Orang-orang Yahudi berkata: „Uzair itu putera Allah... ” (QS. al-Taubah:30).
Ringkasnya, monoteisme Yahudi adalah monoteisme tran- senden dan etis. Tuhan bukan hanya satu dan transenden, tetapi Dia berhubungan pula dengan manusia; hubungan-Nya dengan manusia adalah hubungan etis. Sayangnya, gangguan politeistik dan asosianistik (syirik) datang menerjang berulang kali sehingga menodai kemurnian doktrin tauhidnya (Noer, 2002:189-201).
2. Kristen
Secara kronologis, Kristen muncul setelah Yahudi dan sebelum Islam. Pertumbuhan Kristen dapat dipandang sebagai perkem- bangan suatu sekte Yahudi yang menjadi sebuah agama dunia. Asal- usul Kristen tidak mungkin dipahami tanpa menempatkan agama dan kebudayaan Yahudi sebagai latar belakangnya. Dapat dikatakan bahwa orang Kristen pada awalnya adalah bangsa Yahudi sepenuhnya. Namun kristen, tanpa kehilangan ciri-ciri asal Yahudinya, secara berangsur-angsur melepaskan diri dari Yahudi dan memperoleh penganut yang sebagian besar adalah orang-orang bukan bangsa Yahudi dan tersebar di luar tanah asalnya (Bell, 1968).
Istilah “Kristen” atau “Kristenitas” berasal dari kata Yunani Christos sebagai terjemahan istilah Ibrani Mesias, yang digunakan orang Yahudi untuk menunjuk penyelamat agung mereka. Kemudian istilah Mesias (yang diterjemahkan dengan “al-Masih” atau “Kristen”) digunakan untuk menyebut Yesus dari Nasaret (Isa dari Nasirah [al- Nashirah]). Karena Yesus berasal dari Nasaret Palestina, maka ia digelari Nasrani (Nashrani) dan agama yang dibawanya disebut Nasraniah atau agama Nasrani (al-Nashra-niyyah). Kristen adalah agama orang yang mengaku percaya kepada dan mengikuti Yesus Kristus (Isa al-Masih).
Agama ini berkembang dari kehidupan dan karya Yesus dari Nasaret. Yesus Kristus bukan hanya tokoh sentral dalam Kristen, tetapi juga pusat dari keseluruhan bangunannya. Ia memilih 12 (dua belas) murid, yang kemudian disebut sebagai “al-Hawariyyun”, untuk menjalankan tugas dakwahnya. Yesus menjadi terkenal karena mukjizat, kefasihan dalam menyampaikan ajaran, dan keakrabannya dengan rakyat jelata. Namun di pihak lain, timbul rasa permusuhan dari beberapa kalangan umat Yahudi dan kecurigaan dari rezim Romawi, yang berujung pada tragedi penyaliban Yesus di pinggiran kota Yerussalem.
Terkait dengan peristiwa penyaliban ini, Islam menyangkal bahwa Yesus (baca: Isa) telah meninggal di tiang salib. Menurut Al-
Qur‟an, murid Yesus yang berkhianat, Yudas, itulah yang disalib setelah wajahnya diserupakan oleh Allah dengan wajah gurunya.
“Mereka mengatakan: Sesungguhnya kami telah membunuh al-Masih, „Isa putera Maryam, Rasul Allah. Padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya. Tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan „Isa. Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang (pembunuhan) „Isa, benar-benar dalam keragu-raguan tentang yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka. Mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu „Isa. Tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat „Isa ke sisi-Nya. Sungguh Allah Maha Perkasa laga Maha Bijaksana ” (Q.S. al- Nisa’:157-158).
Yesus, sebagaimana Nabi Musa AS, meneruskan ajaran monoteisme murni. Ketika seorang ahli Taurat datang kepada Yesus untuk menanyakan hukum yang paling utama, ia menjawab, “Hukum yang paling utama adalah: Dengarlah, wahai orang Israil, Tuhan itu adalah Tuhan kita, Tuhan Yang Esa” (Mar-kus:12:29). Kalimat ini sama bunyinya dengan kalimat “Syema” (Syahadat) Yahudi, yang diucapkan oleh Nabi Musa AS kepada bangsa Israil (Ulangan 6:4).
Kristen memang agama monoteistik, tetapi konsep keesaan Tuhan tidak begitu ditekankan oleh Kristen, seperti dua agama Semitik lainnya. Karena itu, konsep tentang keesaan Tuhan bukan unsur dominan dalam Kristen. Kristen lebih mementingkan doktrin Trinitas daripada ajaran tauhid. Tuhan menginkarnasi sebagai manusia dan menebus dunia. Tuhan turun dalam suatu entitas (wujud) untuk menertibkan kembali keseimbangan dunia yang terganggu.
Dalam konteks ini perlu dicatat, otoritas gereja sendiri masih menghadapi pertentangan-pertentangan intern teologis, khususnya terkait dengan pribadi Kristus. Persoalan tersebut dapat dirumuskan dalam pertanyaan-pertanyaan berikut: Siapakah Yesus Kristus sesungguhnya? Apakah ia manusia atau Tuhan? Apakah ia manusia dan Tuhan sekaligus? Atau, apakah ia manusia yang hampir sederajat dengan Tuhan? Dan, meskipun mempunyai derajat yang mulia dan melebihi manusia-manusia lain, apakah ia manusia biasa yang diciptakan Tuhan seperti manusia-manusia biasa lain?
Secara tegas, Al-Qur‟an menyatakan kesesatan teologi Trinitas Kristen ini lewat ayat berikut:
“Sungguh telah kafir orang-orang yang mengatakan: Bahwasanya Allah adalah salah satu dari yang tiga. Padahal sekali-kali tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Tuhan Yang Esa” (Q.S. al-Maidah:73).
3. Islam, Agama Lama yang Baru
Meskipun Islam dibawa Muhammad SAW sebagai nabi terakhir atau “Penutup Nabi-Nabi” (Khatam al-Nabiyyin), agama ini tidak memandang dirinya sebagai agama baru, tetapi sebagai agama tertua. Memang jika dilihat dari perjalanan sejarah agama-agama Semitik atau Ibrahimiah, Islam adalah agama baru. Namun, bila dilihat dari esensi pesan semua nabi (tauhid yang diwahyukan Tuhan kepada mereka), maka Islam adalah agama tertua yang telah ada sejak Nabi Adam AS. Islam mengidentikkan dirinya dengan agama primordial (al-din al-hanif = agama yang benar), yaitu agama Ibrahim dan keturunannya, dan semua nabi yang diutus Tuhan kepada bangsa- bangsa Semitik, termasuk orang Ibrani dan orang Arab.
Islam memandang Yahudi dan Kristen bukan sebagai “agama- agama lain”, tetapi sebagai dirinya sendiri sejauh bersumber dari wahyu-wahyu Allah SWT kepada nabi-nabi kedua agama itu. Identisikasi diri seperti ini bukan berarti Islam tidak kritis terhadap penyimpangan-penyimpangan dari jalan lurus kehendak Ilahi. Karena itu, meskipun mengidentikkan dirinya dengan Yahudi dan Kristen, Islam menyalahkan dan mengoreksi manifestasi-mani-festasi historis dari keduanya (al-Faruqi, 1986).
Islam mengakui Tuhan Yahudi dan Kristen sebagai Tuhannya sendiri dan mengakui nabi-nabi kedua agama ini sebagai nabi- nabinya sendiri. Islam mengakui bahwa orang-orang Yahudi dan Kristen mempunyai komunitas-komunitas agama yang memiliki kitab-kitab suci yang diwahyukan dan menyebut mereka Ahli Kitab (Ahl al-Kitab). Islam menekankan kembali ide-ide Yahudi dan Kristen tentang keabadian pribadi (immortalitas personal), kebangkitan jasad, hari pengadilan, dan kekekalan balasan baik di surga maupun di neraka. Islam memandang Yerussalem, tempat suci kedua agama ini, sebagai tempat sucinya sendiri. Namun, Islam
mendirikan institusi baru, yaitu shalat lima kali sehari, kewajiban berzakat, dan pembacaan harian kitab suci Al-Qur‟an.
Secara teologis, Islam lebih dekat dengan Yahudi daripada dengan Kristen. Sebagaimana Yahudi, Islam sangat menekankan keesaan Tuhan dan hubungan langsung manusia dengan Tuhan. Menurut Stephen M. Wylen, seorang rabi (sarjana dan guru agama Yahudi) di Amerika Serikat, orang Yahudi mengakui bahwa ide Islam tentang Tuhan yang Esa tidak berbeda secara esensial dengan ide Yahudi tentang Tuhan. Namun ide Kristen tentang Tuhan yang Tritunggal (baca: Trinitas) sulit dipahami orang Yahudi dan penganut Islam. Orang Yahudi memandang bahwa monoteisme Islam tidak berbeda secara esensial dengan monoteisme Yahudi, tetapi mereka menolak monoteisme Kristen.
Kemodernan Islam akan tampak jika dibandingkan dengan penekanan Yahudi dan Kristen pada konsep Tuhan dan manusia. Yahudi memberikan penekanan pada konsep bahwa Tuhan adalah “Sumber Hukum” dan Hakim bangsa-Nya, sementara manusia lebih dipandang sebagai kolektivitas dan masyarakat sebagai individu- individu. Sesuai dengan penekanan ini, Yahudi memberikan penekanan pada aspek kemasyarakatan, hukum, dan keadilan. Kristen memberikan penekanan pada konsep bahwa Tuhan adalah “Sumber Kasih” yang mencintai hamba dan putera-Nya. Kristen memang mulai muncul sebagai agama mistis individual yang sangat kuat. Sesuai dengan penekanan ini, Kristen memberikan penekanan pada aspek spiritual, kebaktian, dan kecintaan dari individu-individu. Singkatnya, Yahudi memberikan penekanan pada aspek “eksoteris” (lahiriah), sedangkan Kristen memberikan penekanan pada aspek “esoteris” (batiniah).
Islam memadukan kedua sikap ini ke dalam suatu keutuhan sintesis yang tunggal. Tuhan, menurut Islam, adalah Maha Kuasa, Sang Penghukum, Hakim Yang Adil (seperti Tuhan orang-orang Yahudi), dan sekaligus Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Pengampun, dan Maha Pemaaf (seperti Tuhan orang-orang Kristen). Islam menekankan kesatuan dan keharmonisan antara kehidupan sosial dan kehidupan individual, antara eksoterisme (lahiriah) dan esoterisme (batiniah). Dengan demikian, Islam memulihkan kembali keseimbangan sempurna antara eksoterisme dan esoterisme yang dimiliki oleh monoteisme murni yang diwahyukan kepada Nabi Ibrahim AS (Bleeker, 1985).
Daftar Pustaka
Al-Faruqi, Ismail R. Dan Lois Lamya‟ al-Faruqi. 1986. The Cultural Atlas of Islam. New York & London: Macmillan.
Al-Qardhawi, Yusuf. 1996. Tauhidullah dan Fenomena Kemusyrikan, diterjemahkan dari Haqiqah al-Tauhid. Surabaya: Pustaka Progressif.
Allouche, Adel. 1987. “Arabian Religions,” The Encyclopedia of Religion, XVI. New York & London: Macmillan.
Bell, Richard. 1968. The Origins of Islam in its Christian Environment. London: Frank Cass & Co. Ltd.
Bleeker, C.J. 1985. Pertemuan Agama-Agama Dunia, terj. Barus Siregar. Bandung: Sumur Bandung.
Madjid, Nurcholish. Masyarakat Religius. Jakarta: Paramadina, 1997.
Noer, Kautsar Azhari. 2002. “Tradisi Monoteis,” Ensiklopedi Tematis Dunia Islam. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve.
Sunarso, Ali. 2009. Islam Praparadigma, Yogyakarta: Tiara Wacana.
Komentar
Posting Komentar
Terimakasih telah berkontribusi, selalu ikuti kami melalui sebuah tulisan