Sabtu, 09 April 2022

Budaya Ramadhan 7 | Proses Terbentuknya Iman Dan Upaya Meningkatkannya



Iman terbentuk dalam diri manusia diawali dari fitrah tauhid (menyembah Allah) yang Allah tanamkan dalam diri manusia sejak dia masih dalam rahim ibunya. Umumnya, fitrah ini akan tumbuh dalam diri manusia manakala lingkungan keluarga/sosialnya adalah Islam. Dalam kondisi semacam inilah Allah kemudian menurunkan hidayah kepada dia untuk beriman. Berikut ini penjelasannya.
1. Fitrah Ilahi
Dalam iman, pembenaran terutama terkait dengan masalah hati. Hati sangat berperan dalam mewujudkan iman dalam diri seseorang. Dalam-dangkalnya, tebal-tipisnya, teguh-tidaknya iman sangat tergantung pada hati manusia yang sifatnya berubah-ubah. Meskipun begitu, Allah sesungguhnya telah memberikan potensi pada setiap manusia untuk bertuhan dan mengabdi hanya kepada Allah, yang disebut fitrah tauhid. Potensi ini disemaikan Allah ke dalam jiwa manusia sejak masih berada di alam azali (arwah). Dalam
Q.S. al-A‟raf: 172 diterangkan:
 “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): Bukankah Aku ini Tuhanmu? Mereka menjawab: Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang- orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).”
Dalam Q.S. al-Rum:30 juga disebutkan:
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (Q.S. al-Rum:30).
Maksud fitrah Allah disini adalah ciptaan Allah. Manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid. Fitrah ini selamanya ada pada diri setiap manusia dan tidak mengalami perubahan. Kalau ada manusia tidak beragama tauhid, maka hal itu tidaklah wajar. Mereka tidak beragama tauhid adalah karena pengaruh lingkungan.

2. Hidayah
Iman juga terbentuk melalui hidayah dari Allah SWT. Di antara semua sebab terbentuknya iman, hidayah adalah sebab utama, karena seseorang tidak dapat membuat orang lain beriman tanpa hidayah dari Allah SWT. Bahkan Rasul Allah SAW tidak dapat memberikan hidayah ini kepada orang yang dicintainya. Hidayah merupakan     kehendak    (masyi‟ah)     Allah    semata.     Allah    SWT mengingatkan hal ini ketika Rasul Allah SAW bersedih atas meninggalnya Abu Thalib, paman yang selalu membela dia, dalam keadaan kafir. Allah berfirman:
 “Sesungguhnya Engkau tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk” (Q.S. Al- Qashas:56).
Kata hidayah dalam bahasa Arab berarti petunjuk. Ia dipadan- kan artinya dengan kata hudan, dilalah, atau thariq. Menurut Muhammmad Abduh, hidayah adalah “petunjuk halus yang membawa atau menyampaikan kepada apa yang dituju atau diingini.” Abduh menambahkan, ada lima macam hidayah yang dianugerahkan Allah kepada manusia, yaitu:
a. Hidayah al-wijdan al-fithri (petunjuk insting dan intuisi)
b. Hidayah al-hawas (petunjuk inderawi)
c. Hidayah al-„aql (petunjuk akal)
d. Hidayah al-din (petunjuk agama)
e. Hidayah al-taufiq (petunjuk khusus) (Anshari, 1979).
Pada binatang, Allah SWT hanya memberikan dua hidayah yang pertama, dan kedua. Sedangkan hidayah yang lain diberikan kepada manusia. Petunjuk akal diberikan kepada semua manusia secara umum, demikian pula dengan hidayah agama yang bersifat umum. Allah menurunkan agama-Nya kepada manusia agar dianut oleh mereka berdasarkan ikhtiar mereka sendiri. Setiap manusia diberi kebebasan memilih agama Islam sebagai agamanya, sebagaimana difirmankan oleh Allah dalam Q.S. Al-Kahfi:29:
 “Katakanlah bahwa kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu! Barangsiapa yang ingin beriman hendaklah dia beriman dan barang siapa yang ingin kafir biarlah ia kafir.”
Karena diberi kebebasan itulah, kemungkinan bagi setiap manusia untuk menjadi Muslim adalah lima puluh persen, apalagi manusia yang ditakdirkan lahir dan tumbuh di lingkungan non Muslim. Peluang dia untuk menjadi Muslim sangat tipis. Oleh sebab itu, diperlukan hidayah lain dari Allah yang disebut hidayah taufiq.
Terkait dengan terbentuknya iman, dari kelima hidayah yang sudah disebutkan di atas, hidayah taufiq adalah yang terpenting. Dengan hidayah ini, Allah langsung memberi petunjuk kepada hamba-Nya sehingga dia selalu berjalan di atas jalan yang lurus. Dengan petunjuk ini, dimungkinkan orang yang lahir dalam keluarga non Muslim menjadi beriman kepada Allah. Bahkan orang yang sudah Muslim pun selalu memerlukan hidayah ini agar tetap selamat dalam perjalanan hidupnya. Hidayah ini yang selalu diminta oleh setiap Muslim dalam shalatnya dengan mengucapkan “ihdina al- shirath al-mustaqim!”
3. Ikhtiar Insani
Iman yang ada dalam diri setiap muslim bersifat tidak tetap; kadang kuat kadang lemah, suatu saat turun, dalam kesempatan lain naik. Oleh karena itu, setiap muslim hendaknya mengetahui cara-cara meningkatkan iman, dan berupaya mempraktekkannya, terutama, saat imannya sedang turun. Hal ini agar dirinya punya kesempatan besar meninggal dunia dalam keadaan membawa iman, atau khusnul khatimah. Berikut ini dijelaskan sejumlah cara yang bisa dilakukan untuk meningkatkan iman.
a. Penciptaan Lingkungan Sosial yang Kondusif
Dalam uraian diatas telah disinggung bahwa setiap manusia diciptakan Allah dengan fitrah tauhid, bertuhan dan menyembah hanya kepada Allah SWT, namun fitrah tersebut akan tetap menjadi
potensi bila tidak ditumbuhkembangkan oleh manusia. Nabi SAW bersabda:
 “Tidaklah seorang anak itu dilahirkan kecuali dalam keadaan fitrah (bertauhid), kemudian kedua orang tuanyalah yang menjadikannya beragama Yahudi, Nasrani atau Majusi” (HR. Muslim)
Dengan demikian, meskipun setiap manusia sebenarnya mengakui keesaan Allah (tauhid), sebab dalam diri mereka terdapat potensi tersebut, namun potensi tauhid tersebut hanya akan menjadi kenyataan bila diiringi dengan penyediaan lingkungan yang kondusif guna tumbuh dan berkembangnya potensi tersebut.
Hal ini menunjukkan bahwa lingkungan, dalam konteks ini pendidikan, memiliki kekuatan yang luar biasa dalam membentuk keyakinan dan pandangan hidup seseorang. Manusia yang dididik di lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat Islam, maka fitrah tauhidnya akan tumbuh dan berkembang, sehingga jadilah ia seorang muslim. Sebaliknya, meski setiap orang memiliki fitrah tauhid, namun bila ia tinggal dan dididik dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat bukan Islam, maka kelak ia tidak akan menjadi seorang muslim.
Meskipun begitu, hal diatas tidak berlaku bila Allah mempunyai kehendak lain. Tatkala Allah menurunkan hidayah pada orang tersebut, maka apapun dan bagaimanapun lingku-ngannya, ia pasti menjadi seorang muslim. Namun karena hidayah merupakan rahasia Allah, maka setiap muslim berkewajiban menyediakan lingkungan yang kondusif demi tumbuh dan berkembangnya fitrah tauhid, baik di lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Sehingga dirinya, keluarga, dan tetangganya tetap menjadi seorang muslim, bahkan orang beragama lainpun akan tertarik dan menjadi muslim pula.

b. Dzikir, Tafakkur dan Tadabbur
Iman dapat terbentuk melalui zikir, yaitu mengingat Allah SWT dan menyebut nama-nama-Nya setiap saat dalam segala posisi dan keadaan. Mengingat nama Allah, menghadirkan asma Allah dalam hati setiap waktu akan membawa efek yang sangat besar terhadap kedalaman dan kemantapan iman, karena orang yang berzikir akan selalu dekat dengan Tuhan sehingga segala perilaku dan perbua- tannya selalu memperoleh pancaran nur (cahaya) dari Tuhan. Orang
yang beriman adalah orang yang hatinya selalu dekat dengan Tuhannya, imannya selalu menerangi hati dan jiwanya, sebagaimana difirmankan Allah:
 “...Sebelumnya kamu tidak mengetahui apakah al-Qur’an itu, dan tidak pula mengetahui apakah iman itu? Tetapi Kami menjadikannya cahaya yang Kami tunjuki dengannnya siapa saja yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami…. ” (Q.S. al-Syura:52).
Berzikir dapat dilakukan pula dengan merenung (tadabbur) dan memikirkan (tafakur) ciptaan Allah, memikirkan proses kejadian alam dan segala peristiwa yang terjadi di dalamnya. Iman dapat terbentuk ketika manusia memikirkan dengan sungguh-sungguh dan mendalam semua realitas yang ada di alam semesta. Dengan proses ini akan tergambar di hadapannya keagungan dan kehebatan al- Khaliq yang menciptakan dan mengatur semuanya. Dalam al-Qur‟an, Allah SWT menceritakan proses pencarian Nabi Ibrahim AS dalam menemukan Tuhan melalui perenungan terhadap alam sehingga beliau sampai pada taraf keimanan yang mantap.

 “Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang menyekutukan Tuhan” (Q.S. al-An’am:79).

Motivasi untuk memikirkan alam agar sampai kepada keimanan yang mantap tersebar dalam banyak ayat al-Qur‟an, antara lain dalam Q.S. al-Baqarah:164, al-A‟raf:179, al-Ghasyiyah:17-20.
c. Ingat Mati
Tiap-tiap yang bernyawa pasti akan mati. Mati akan dirasakan oleh manusia setelah tiba saatnya. Tidak peduli apakah ia masih bayi, anak-anak, remaja, dewasa, apalagi sudah tua. Bila ajalnya sudah tiba, malaikat maut pasti akan menjemputnya. Itulah misteri kematian yang sering dilupakan namun juga sangat ditakuti manusia. Salah satu cara untuk   mengingat   mati   adalah   bertakziyah kepada orang yang mati. Dalam kaitan takziyah ini, seorang muslim dituntut untuk mendoakan orang yang mati, menggembirakan orang yang ditinggal mati, dan mengurus orang yang mati, seperti: memandikan, mengkafani, menshalatkan, dan menguburkannya. Rasulullah SAW bersabda, “Cukuplah mati sebagai pelajaran dan keyakinan (keimanan) sebagai kekayaan” (H.R. Thabrani).
Cara lain untuk mengingat mati adalah dengan ziarah kubur. Hal itu sangat dianjurkan dalam Islam, karena dengan melaksanakan aktifitas ini seseorang menjadi sadar bahwa cepat atau lambat diapun akan mati seperti orang yang ada di dalam kubur, yang hanya ditemani oleh amalnya didunia. Bila tidak sempat berziarah kubur, maka saat lewat di kuburan, seorang muslim dianjurkan untuk mengucapkan salam kepada ahli kubur muslim yang telah mendahului mereka.

Budaya Ramadhan 6 | Aspek-Aspek Yang Mempengaruhi Perilaku Manusia dan Ikhtiar Merealisasikan Tugas Hidup Manusia


Aspek-Aspek Yang Mempengaruhi Perilaku Manusia

Sebagai makhluk sosial, manusia dalam hidupnya sudah membawa potensi fitrah sejak lahir dan banyak memperoleh  pengaruh dari lingkungannya, terutama lingkungan terdekatnya. Rasullah SAW bersabda.

 “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua orangtuanya yang menjadikannya Yahudi atau Nasrani atau Majusi” (H.R. Bukhori Juz 2 hal. 125).

Hadits tersebut menunjukkan betapa besar pengaruh orang- orang terdekat dalam hidup   manusia. Saat ini pengaruh lingkungan di luar keluarga semakin banyak dan beragam, serta tidak hanya yang dekat, tapi yang jauh pun mudah sekali mendekat, seiring dengan era kemajuan sain dan teknologi. Hal-hal yang menguntungkan mudah sekali diakses dari jarak jauh, demikian juga halnya dengan hal-hal yang merugikan dan merusak moral.

Dalam bidang pendidikan dikenal beberapa aliran pendidikan, yaitu (1) Empirisme yang memandang perkembangan seseorang tergantung pada pengalaman-pengalaman yang diperoleh dalam kehidupannya. (2) Nativisme yang berpandangan bahwa seseorang berkembang berdasarkan apa yang dibawanya dari lahir. (3) Naturalisme yang pandangannya dalam mendidik seseorang pendidik hendaknya kembali alam agar pembawaan seseorang yang baik tidak dirusak oleh pendidik. Terakhir (4) konvergensi yang memadukan aliran nativisme dan empirisme; perkembangan seseorang tergan- tung pada pembawaan dan lingkungannya. Dalam pandangan Islam, lama sebelum munculnya teori diatas, telah diterangkan bahwa tingkah laku manusia ditentutan oleh faktor bawaan dan faktor lingkungan.

Dewasa ini pandangan yang banyak diikuti secara luas oleh para ahli adalah pandangan Islam, walaupun mereka menggunakan redaksi yang berbeda. Para ahli mengatakan bahwa secara garis besar ada 2 faktor yang mempengaruhi perilaku manusia, yaitu faktor personal    dan    faktor    situasional. Faktor personal adalah faktor yang datang dari diri individu, yang meliputi faktor biologis dan faktor sosiopsikologis. Faktor biologis atau struktur biologis meliputi struktur genetis, system syaraf dan sistem hormonal. Sedangkan faktor sosiopsikologis. Sebagai makhluk sosial, manusia mendapat beberapa karakter akibat proses sosialnya.

Faktor situasional adalah faktor dari luar individu, termasuk lingkungan. Kaum behavioris sangat percaya bahwa perilaku seseorang sepenuhnya dipengaruhi oleh lingkungannya. Menurut Islam prilaku seseorang tidak hanya dipengaruhi oleh lingkungan tetapi juga oleh faktor bawaan sejak lahir. Faktor lingkungan dapat berupa: faktor ekologis, faktor rancangan dan arsitektural, faktor temporal, suasana perilaku, tekhnologi, faktor-faktor sosial, lingkungan psikososial, stimuli yang mendorong dan memperteguh perilaku.

Berdasarkan faktor-faktor tersebut maka manusia dengan berbekal potensi-potensi (faktor personal) yang positif dan negatif yang berada pada dirinya berkewajiban untuk mencari ilmu dan mengamalkannya dengan sebaik mungkin. Ilmu sangat berguna untuk mengembangkan potensi positif tersebut dan untuk mengurangi serta mengikis potensi negatif yang dimilikinya.

Ikhtiar Merealisasikan Tugas Hidup Manusia

Sebagaimana dipaparkan sebelumnya, bahwa tugas manusia adalah menjadi khalifah di bumi. Tugas sebagai khalifah itu sejalan dengan firman Allah berikut.

 “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh” (Q.S. al-Ahzab:72).

Tampak pada ayat tersebut bahwa di antara sekian banyak makhluk Allah manusialah yang bersedia mengemban amanat. Kesediaan mengemban amanat dari Allah tersebut mengandung suatu konsekuensi bahwa manusia harus lebih mengutamakan untuk menjalankan kewajiban-kewajiban yang diberikan Allah daripada menuntut hak. Karena itu istilah yang populer di dalam Islam adalah al-waajibaat wal huquuq “kewajiban dan hak” bukan sebaliknya, yaitu “hak dan kewajiban” sebagaimana yang populer di luar ajaran Islam.

Upaya merealisasikan tugas hidup tersebut harus dilakukan secara maksimal dan optimal sesuai kemampuan. Manusia hanya diberi kewenangan untuk berusaha, berhasil dan tidaknya usaha tersebut merupakan kewenangan Allah semata. Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk menyesali kegagalan suatu program yang sudah direncanakan, dilaksanakan, dan dievaluasi dengan baik. Agar sukses dalam mengemban amanat sebagai khalifah, manusia dapat melaksanakan upaya-upaya berikut.

Pertama, berilmu yang memadai. Amanat menjadi khalifah akan dapat diemban manusia dengan baik apabila mereka memiliki ilmu yang memadai. Oleh karena itu, mencari ilmu merupakan keniscayaan bagi manusia, baik dalam kapasitasnya menjadi „abd Allah maupun khalifah Allah. Ibadah hanya akan diterima oleh Allah apabila dikerjakan sesuai ilmunya. Demikian juga dengan upaya memakmurkan bumi. Pemakmuran bumi akan berhasil dengan baik bahkan bernilai ibadah apabila dilakukan dengan sesuai ilmunya.

Kedua, bertindak secara nyata. Semua pihak harus melakukan tindakan nyata dalam pemakmuran dunia/bumi. Dalam konteks ini harus difahami bahwa tanggung jawab menjadi khalifah adalah tanggung jawab bersama. Manusia dengan statusnya masing-masing, misalnya „ulama’, umara’, aghniya’, fuqara’, berkewajiban untuk berkontribusi dan berkolaborasi menyukseskannya sesuai kapasitasnya masing-masing.

a. Para „ulama’ (ilmuwan) mengembangkan ilmunya, meneliti, mengadakan eksperimen, dan mensosialisasikan ilmu kepada pihak-pihak lain, utamanya kepada para umara’ (pejabat, teknokrat, karyawan, praktisi hukum, dan lain-lain) dan generasi penerus dengan mengajarkan ilmu tersebut atau dengan teknik sosialisasi yang lainnya.

b. Para umara’ melaksanakan tugas dan kewenangannya secara total dan adil. Dalam melaksakan tugas mereka harus sangat memperhatikan aspek-aspek dan prinsip-prinsip profesiona- litas, keseimbangan, kesinambungan, keselarasan, keuntungan bersama, tidak berlebihan, keramahan lingkungan, tanpa menimbulkan banyak efek negatif.

c. Para aghniya’ (hartawan) mendukung tugas umara’ dengan bantuan modalnya (membayar zakat, pajak, hibah, atau pinjaman modal kerja) untuk membiayai program-program pengembangan  ilmu  dan  eksperimen  yang  dilakukan  ulama‟, program-program pembangunan dan lainnya yang dilakukan oleh  umara‟,  dan  pengentasan  kemiskinan  atau  pemenuhan kebutuhan orang-orang miskin.

d. Kaum fuqara’ (fakir miskin) mendukung tugas ketiga unsur tersebut dengan doanya yang tiada henti.

Ketiga, mencari lingkungan yang baik. Menyadari akan besarnya pengaruh lingkungan dalam merealisasikan sesuatu yang diinginkan maka manusia harus mencari lingkungan yang kondusif.

Jika lingkungan kondusif tidak dapat diperoleh maka seseorang bisa menciptakannya. Ketika ingin memiliki ilmu yang luas, pemuda bisa datang ke pesantren, dan ketika Mekah sudah tidak kondusif untuk berdakwah, Rasulullah SAW hijrah ke Medinah.

Keempat, berdoa. Berdoa merupakan ciri khas orang yang beriman. Bagi mereka berdoa merupakan bagian yang terpisahkan dari usaha mengemban amanat dan dalam melaksanakan program apa saja. Tidak benar kalau ada orang yang berusaha hanya dengan bekerja tanpa berdoa dan tidak benar pula orang yang hanya berdoa tanpa berusaha nyata. Agar usaha dan doa tidak menyimpang dari aturan, maka bekal ilmu yang memadai menjadi syarat mutlak.

Kelima, menjaga hati. Sesuai dengan namanya hati cenderung tidak stabil. Oleh karena itu, hati harus dijaga agar selamat dari hal- hal yang menjadikannya labil dan sakit. Hati harus dijaga dari sifat- sifat yang tercela dengan cara mengarahkannya kepada sifat-sifat terpuji. Menjaga hati dilakukan dengan beribadah yang menurut al- Khawwash (dalam al-Qusyairi, tt juz 1 hal. 22) dinamakan dengan mengobati hati. Menurutnya obat hati itu ada lima, yaitu membaca al-Qur`an dengan menghayati maknanya, mengosongkan perut (berpuasa), melakukan salat malam, berzikir di keheningan malam, dan bergaul dengan orang-orang saleh.

Keenam, semua itu dilengkapi dengan bertawakal atau menyerahkan keberhasilan segala usaha dan jerih payah kepada Allah, Dzat yang maha mengetahui dan maha bijaksana. Orang yang beriman yakin bahwa manusia hanya memiliki kewenangan untuk berusaha, Allahlah yang berwenang menentukan berhasil atau gagalnya usaha tersebut. Namun patut dicatat bahwa usaha yang benar dan diniati dengan benar pula pastilah membuahkan keuntungan yang berupa pahala. Orang yang berijtihad lalu hasilnya benar maka ia mendapatkan dua pahala dan jika tidak benar maka ia mendapatkan satu pahala. Dengan demikian, sesungguhnya tidak ada usaha orang beriman yang sia-sia.

Mahasiswa PLB Universitas Negeri Malang Tanamkan Nilai Anti Korupsi Sejak Dini di SDN Lowokwaru 5

  MALANG | JATIMSATUNEWS.COM :  Mahasiswa Program Studi Pendidikan Luar Biasa (PLB) Universitas Negeri Malang melaksanakan kegiatan Sosialis...