1. Kedudukan dan Tugas Hidup Manusia
Dalam pandangan Islam, manusia diberi dua kedudukan yang mulia oleh Allah, yaitu sebagai hamba Allah (‘abdullah) dan khalifah Allah. Sebagai hamba Allah, manusia bertugas beribadah serta tunduk dan patuh kepada-Nya. Keharusan beribadah, tunduk, patuh, serta menyembah Allah antara lain berdasarkan firman Allah SWT berikut.
“Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku” (Q.S. Thaha:14).
Semua manusia adalah abdullah, termasuk para nabi. Atha‟ bin Yasar pernah berkata kepada Abdullah bin Amr bin Ash r.a: “Beritahulah saya tentang sifat Rasulullah SAW di dalam kitab Taurat!” Abdullah berkata:
“Tentu, Demi Allah, sesungguhnya beliau di dalam kitab Taurat disifati dengan sebagian sifat yang terdapat di dalam Al-Qur‟an; wahai Nabi sesungguhnya saya mengutusmu sebagai saksi, penyampai berita gembira dan berita yang menakutkan, penolong bagi kaum yang buta huruf. Engkau adalah hambaku dan utusanku. Saya menamaimu „almutawakkil‟ bukan orang yang keras kepala dan berhati kasar” (H.R. Bukhori, di dalam Fath al-Bari juz 2: 87).
Abdun dalam hadis tersebut ditujukan kepada Rasulullah SAW, namun tidak hanya digunakan untuk beliau tetapi digunakan pula untuk hamba Allah yang lain, baik para nabi dan rasul maupun manusia biasa, bahkan untuk makhluk lain selain manusia. Secara leksikal makhluk yang menyembah Allah dinamakan ‘abid’ sedang- kan Allah disebut Ma’bud atau Dzat Yang Disembah.
Kedudukan manusia itu unik. Ia berada di antara malaikat dan binatang. Ia bisa naik ke kedudukan yang sama dengan malaikat apabila bisa mengendalikan hawa nafsunya. Mereka bahkan bisa lebih tinggi derajatnya dibanding malaikat. Rasulullah adalah manusia yang berhasil menembus tempat yang tidak mampu ditembus malaikat, yaitu Sidrat al-Muntaha dan Mustawa. Sebaliknya manusia akan turun derajatnya ke derajat binatang apabila ia menuruti hawa nafsunya. Bahkan mereka bisa lebih rendah daripada binatang, sebagaimana yang disebutkan di dalam QS. Al- A‟raf:179 dan al-Furqan:44.
Selain sebagai abdullah, manusia juga berkedudukan sebagai khalifah (wakil atau pengganti) Allah yang merujuk pada tugasnya sebagai pemegang mandat Tuhan guna mewujudkan kemakmuran di bumi. Di dalam al-Qur`an kata khalifah disebutkan dua kali, yaitu:
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui (Q.S. Al-Baqarah:30).
Al-Shabuny (1976:I/48) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan khalifah dalam ayat tersebut adalah makhluk yang mewakili atau menggantikan Allah di dalam mengelola hukum-hukum Allah di bumi. Menurut Al-Jilany (2009:62) tugas kekhalifahan itu adalah memperbaiki akhlak dan hal-ihwal penghuni bumi. Makhluk tersebut sebagaimana disebutkan pada ayat-ayat berikutnya adalah nabi Adam dan keturunannya. Mereka dicipta oleh Allah untuk menjadi pengganti makhluk yang mendiami bumi sebelumnya, yang dalam banyak kitab tafsir disebut banu al-jan (anak-cucu jin).
“Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah di muka bumi, maka berilah keputusan di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan” (Q.S. Shaad: 26).
Dalam ayat ini dinyatakan bahwa Nabi Dawud oleh Allah dijadikan sebagai khalifah. Bila dipadukan dengan ayat 30 surat al- Baqarah, maka Nabi Dawud bukanlah satu-satunya manusia yang diangkat menjadi khalifah. Namun semua manusia juga dipersiapkan oleh Allah untuk menjadi khalifah.
Dengan demikian jelas bahwa manusia dalam hidupnya memiliki tugas sebagai ‘khalifah fi al-ardhi’ atau penguasa di bumi. Artinya, manusia menjadi penguasa untuk mengelola dan mengendalikan segala apa yang ada di bumi (yang dalam al-Qur`an disebut dengan al-taskhir) untuk kemakmuran dan ketenteraman hidupnya, dalam bentuk pemanfaatan (al-intifa’), pengambilan contoh (al-i’tibar), dan pemeliharaan (al-ihtifadz) (TIM Dosen PAI UM, 2011: 49-50).
Merujuk pada makna kata khalifah yang diartikan sebagai wakil atau pengganti yang memegang kekuasaan, ini berarti kekuasaan yang dipegang manusia hanya semata-mata memegang mandat Allah (mandataris). Oleh karena itu, dalam menjalankan kekuasaannya, manusia harus selalu mentaati ketentuan yang telah ditetapkan oleh yang memberi mandat. Apa yang dikerjakan oleh manusia dalam menjalankan tugasnya dibatasi oleh aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Allah, Sang Pemberi Mandat tersebut (Nurdin, et. al., 1993:15). Aturan-aturan itu berupa hukum Tuhan yang dibuat sedemikian rupa, agar manusia dalam menjalankan tugas kekhalifahannya selalu mendapatkan ridla Allah, sehingga ia bisa merasakan kenikmatan dan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat .
Dalam memakmurkan bumi ini, manusia harus selalu mengerjakannya atas nama Allah (bism Allah), yakni disertai tanggung jawab penuh kepada Allah dengan mengikuti „pesan‟ dalam mandat yang diberikan kepadanya. Kelak di akhirat pada saat menghadap Allah, manusia akan dimintai pertanggungjawaban atas seluruh kinerjanya dalam menjalankan mandat sebagai khalifah-Nya di muka bumi (Madjid, 2000:157). Itulah sebabnya apabila manusia melanggar atau menyimpang dari aturan-aturan tersebut, ia akan mendapatkan sangsi, yaitu kesulitan dan keseng-saraan hidup di dunia, dan siksa yang amat pedih di akhirat.
Secara potensial, manusia memiliki potensi dan kesanggupan yang signifikan untuk menjalankan tugas kepemimpinannya di bumi, karena dia tercipta dari unsur tanah. Begitu juga sebelum manusia menjalankan tugasnya, Allah telah memberi bekal dengan mengajarkan nama-nama segala benda yang ada di bumi dan tidak satu pun dari malaikat yang mengetahuinya (Q.S. al-Baqarah:31-33). Hal ini juga berarti bahwa untuk menjalankan tugasnya sebagai khalifah, manusia terlebih dulu dituntut mengenali berbagai persoalan tentang bumi. Hal ini agar dalam menjalankan tugasnya manusia tidak merasa asing, tetapi betul-betul sudah dalam keadaan siap.
2. Tujuan Penciptaan Manusia
Allah menciptakan segala sesuatu dengan tujuan tertentu. Segala sesuatu yang diciptakan Allah tidak ada yang sia-sia atau tanpa maksud. Itulah sebabnya manusia diperintahkan Allah untuk memikirkan maksud dari penciptaan tersebut (Q.S. Ali Imran:191). Tujuan penciptaan manusia harus difahami dengan seksama agar manusia berupaya melakukan apapun yang dikehendaki Allah dan
tidak menyimpang dari ketentuan-Nya. Menurut al-Qur‟an, Allah menciptakan manusia agar ia beribadah kepada-Nya.
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi-Ku makan” (Q.S. al- Dzariyat:56-57).
Dalam konteks ini, beribadah berarti mengabdi, berbakti, dan menghambakan diri kepada Allah SWT. Istilah “beribadah” tidak boleh diartikan secara sempit seperti pengertian yang dianut oleh masyarakat pada umumnya, yakni terbatas pada aspek ritual seperti shalat, zakat, puasa, dan haji. Akan tetapi “beribadah” harus diartikan secara luas, yaitu meliputi ketaatan, ketundukan, dan kepatuhan atas ketentuan dan kehendak yang telah ditetapkan oleh Allah dalam menjalani hidup di bumi ini, baik yang menyangkut hubungan vertikal (manusia dengan Allah) maupun hubungan horisontal (manusia dengan manusia dan alam sekitar), atau yang lebih dikenal dengan istilah habl min Allah wa habl min al-nas yang diwujudkan dalam bentuk iman dan amal saleh.
Dalam beribadah, manusia harus memperhatikan kehalalan makanan dan minuman serta fasilitas yang digunakan dalam menjalankan ibadah. Sebab dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dinyatakan ada orang yang tekun dan sungguh-sungguh memohon kepada Allah hingga pakaiannya compang camping, rambutnya awut-awutan, namun karena makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya didapat dari cara yang haram, maka doanya tidak dikabulkan oleh Allah.
Ibadah, walaupun perintah Allah namun harus disikapi sebagai fasilitas bukan sebagai beban. Sebab jika ibadah dikerjakan maka pelakunya akan memperoleh dua hal sekaligus, yaitu ampunan dari dosa yang pernah ia kerjakan dan memperoleh tambahan pahala (poin) untuk kebahagiaan yang hakiki di akhirat kelak. Kalau manusia tidak mau beribadah, maka yang rugi adalah dirinya sendiri, tidak sedikitpun merugikan Allah, karena meskipun seandainya seluruh manusia tidak beribadah kepada Allah maka tidak akan sedikitpun mengurangi kekuasaan Allah, demikian pula sebaliknya. Dalam sebuah hadis qudsi, Allah berfirman:
“Wahai hamba-Ku, sesungguhnya kalian tidak akan mampu membuat-Ku merugi dan tidak akan mampu membuat-Ku beruntung. Wahai hamba-Ku, andaikata manusia dan jin mulai generasi pertama sampai generasi terakhir semuanya mencapai tingkatan tertinggi dalam ketaqwaan, maka yang demikian itu tidak akan menambah kekuasaan-Ku sedikitpun. Wahai hamba-Ku, andaikata manusia dan jin mulai generasi pertama sampai generasi terakhir semuanya mencapai tingkatan terbesar dalam berbuat dosa, maka yang demikian itu tidak akan mengurangi kekuasaan-Ku sedikitpun” (H.R. Muslim Juz 8 Hal. 16).
Komentar
Posting Komentar
Terimakasih telah berkontribusi, selalu ikuti kami melalui sebuah tulisan