Langsung ke konten utama

Budaya Ramadhan 8 | Ibadah: Manifestasi Iman, Islam Dan Ihsan


1. Hakikat dan Manfaat Ibadah

a. Hakikat ibadah

Biasanya orang memahami “ibadah” sebagai aktivitas ritual shalat, berdoa, zakat, puasa, haji, dan yang semacamnya. Ibadah difahami sedemikian sempit sehingga terbatas hanya dalam bentuk hablun minallah atau hubungan vertikal antara hamba dengan Allah saja. Padahal pengertian ibadah yang sebenarnya tidaklah demikian. Ibadah adalah bentuk penghambaan diri kepada Allah yang bukan hanya berkaitan dengan hubungan manusia (hamba) dengan Tuhan (hablun minallah) tetapi juga hubungan manusia dengan sesamanya (hablun minannas), bahkan juga hubungan manusia dengan semua makhluk (mu‟amalah ma‟al khalqi).

Para ulama memberikan definisi yang berbeda-beda tentang ibadah. As-Siddieqy misalnya mengartikan ibadah sebagai: “nama yang meliputi segala kegiatan yang disukai dan diridhoi oleh Allah, baik berupa perkataan atau perbuatan, secara terang-terangan ataupun tersembunyi” (as-Siddieqy, 1963:22). Jadi cakupan ibadah itu luas sekali, meliputi segala aspek, gerak dan kegiatan hidup manusia. Bahkan di dalam sebuah hadis diterangkan, bahwa membuang duri dari tengah jalan (agar tidak mengganggu orang berjalan) adalah ibadah, bermuka manis ketika bertemu kawan adalah ibadah, dan memandangnya anak kepada ibunya karena cinta adalah juga ibadah.

Selanjutnya Al-Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya menyim- pulkan bahwa hakikat ibadah ialah: “suatu pengertian yang mengumpulkan kesempurnaan cinta, tunduk dan takut (kepada Allah)” (as-Siddieqy, 1963:24). Pengertian takut (khauf) yang dimaksud disini bukanlah sebagaimana takutnya seseorang terhadap harimau, namun takut kalau-kalau pengabdiannya kepada Allah (khuduk) yang didasarkan kepada cinta yang sempurna (mahabbah) kepada-Nya itu ditolak dan tidak diterima oleh-Nya.

Sehubungan   dengan   ini,   seorang   sufi   terkenal   Rabi‟ah   al- Adawiyah (713 – 801 H) dari Bashrah, Irak, dengan sangat indah memanjatkan doa kepada Allah dengan menyatakan bahwa motivasi ibadahnya adalah semata-mata karena cinta (mahabbah) kepada- Nya, bukan karena takut neraka atau mengharap surga-Nya:

Wahai Tuhanku,

bilamana daku menyembah-Mu karena takut neraka, jadikanlah neraka kediamanku.

Dan bilamana daku menyembah-Mu karena gairah nikmat di sorga,

maka tutuplah pintu sorga selamanya bagiku.

Tetapi apabila daku menyembah-Mu demi Dikau semata, maka jangan larang daku menatap keindahan-Mu Yang Abadi.

(Terjemahan bebas Taufik Ismail dalam Toto Suryana, et. al., 1996:161)

b. Manfaat Ibadah

Ibadah berfungsi sebagai pupuk yang dapat menumbuh- suburkan benih iman. Seperti yang dijelaskan oleh Allah dalam Q.S. Al-Hijr:99 berikut:

 “Dan sembahlah Tuhanmu sampai keyakinan (ajal) datang kepadamu!”

Allah menghendaki seluruh hamba-Nya secara terus-menerus, sampai datang kematian, untuk beribadah kepada-Nya adalah semata-mata untuk kepentingan dan kebaikan hidup hamba sendiri. Bukan untuk kepentingan Allah, Dzat yang Maha Sempurna yang telah menciptakan (Al-Khalik) dan memelihara (Al-Hafidh) alam semesta raya. Di antara fungsi-fungsi pokok ibadah bagi manusia ialah:

1) Menjaga keselamatan akidah, terutama terkait dengan kedudukan manusia dan Allah, di mana manusia dalam posisi sebagai hamba yang menyembah dan Allah dalam posisi sebagai Tuhan yang disembah („abdun ya‟budu wa rabb yu‟badu).

2) Menjaga agar hubungan antara manusia dengan Tuhan itu berjalan dengan baik dan abadi (daiman abadan). Terjaganya hubungan ini mendatangkan ketenangan pada orang yang

melakukan ibadah, sebagaimana diterangkan dalam Q.S. Al- Fath:4.

 “Dia-lah yang menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang beriman supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka yang telah ada. Kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi, dan Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”

3) Mendisiplinkan sikap dan perilaku agar etis dan religius. Sikap etis didasarkan pada paradigma sosial, sedang sikap religius didasarkan pada paradigma agama (Tim Dosen PAI UM., 2005:38). Allah berfirman:

 “Orang-orang yang beriman dan beramal saleh (beribadah) bagi mereka itu kebahagiaan hidup dan tempat kembali yang baik (surga)” (Q.S. al- Ra’du:29).

2. Macam-macam Ibadah

Lazimnya, ibadah dipilah menjadi dua macam, yaitu ibadah mahdhah (ibadah ritual) dan ibadah ghairu mahdhah (ibadah sosial). Ibadah ritual adalah ibadah yang terangkum di dalam rukun Islam yang meliputi shalat, zakat, puasa, haji, dan lain-lain. Ibadah sosial adalah perbuatan baik yang dilakukan orang mukallaf dalam rangka melaksanakan perintah Allah, seperti berbakti kepada orang tua, memberi nafkan kepada keluarga, berbuat baik kepada tetangga, menyantuni fakir-miskin, dan lain-lain. Kedua macam ibadah itu harus dikerjakan oleh setiap manusia yang mukallaf. Kalau ibadah ritual ada yang wajib dan ada yang sunnah maka demikian juga halnya dengan ibadah sosial.

Tidaklah dikatakan orang yang benar-benar baik manakala ia tekun beribadah ritual sementara pergaulannya dengan orang lain tidak baik. Orang yang berani kepada orang tuanya atau tidak menafkahi keluarga yang menjadi tanggungannya termasuk orang yang berdosa, demikian juga orang yang menyakiti tetangganya. Sekecil apapun kezaliman yang diperbuat seseorang kepada orang lain akan dimintai pertanggungan jawab. Suatu ketika ada seorang

sahabat yang bertanya kepada Rasulullah saw tentang seorang muslim yang rajin beribadah tetapi tetangganya tidak terbebas dari gangguan tangan dan lisannya. Menggapi pertanyaan ini beliau menjawab, “ia masuk neraka”.

Ibadah sosial tidak boleh diabaikan oleh orang Islam. Kalau diperhatikan seluruh ibadah ritual juga melibatkan unsur ibadah sosial. Shalat adalah ibadah ritual, namun diakhiri dengan unsur ibadah sosial, yaitu salam sambil menoleh ke kanan dan kekiri. Di dalam kitab-kitab fikih dikatakan bahwa ketika orang shalat mengucapkan salam pertama sambil menoleh ke kanan hendaknya berniat mendoakan keselamatan kepada orang-orang yang ada di sebelah kanannya. Demikian juga ketika mengucapkan salam kedua sambil menoleh ke kiri hendaknya berniat mendoakan keselamatan kepada orang-orang yang ada di sebelah kirinya. Puasa Ramadhan adalah ibadah ritual, akan tetapi pada saat melakukannya orang yang berpuasa tidak boleh menyakiti orang lain, selain itu agar puasanya diterima ia harus menyantuni fakir-miskin dengan membayar zakat fitrah.

Ibadah dengan segala ragamnya merupakan bentuk pengham- baan diri kepada Allah, baik yang berdimensi vertikal (hablun minallah) maupun horisontal (hablun minannas) oleh para ulama dikelompokkan menjadi 2 (dua) macam:

a. Ibadah Khusus (Ibadah Mahdhah)

Yaitu ibadah yang pelaksanaannya telah dicontohkan langsung oleh Nabi Muhammad SAW. Tatacara (kaifiat), syarat dan rukunnya telah diatur dan ditetapkan oleh agama, dan kita tidak boleh menambah atau menguranginya sedikitpun. Pelanggaran terhadap tatacara pelaksanaan ibadah jenis ini menjadikan pelaksanaan ibadah tersebut tidak sah atau batal. Contoh: salat, zakat, puasa, haji, azan, berdoa, merawat jenazah, i‟tikaf dan lain-lain.

Dalam ibadah khusus ini, para ulama menetapkan kaidah: “Semua tidak boleh dilakukan, kecuali yang diperintahkan Allah atau dicontohkan rasul-Nya.” Melakukan yang tidak diperintahkan atau dicontohkan dalam ibadah ini disebut dengan bid‟ah dhalalah (sesat). Contoh, shalat Subuh dilakukan 4 rakaat, beribadah haji tidak ke Mekah, azan dan shalat dengan bahasa Indonesia, dan lain-lain. Berkaitan dengan penyimpangan terhadap ibadah khusus ini, Nabi Muhammad SAW menyatakan: 

“Siapa mengerjakan suatu amalan (ibadah) yang tidak sesuai dengan

perintahku, maka tertolak” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Bila diperhatikan, ternyata faktor-faktor penyebab seseorang melakukan bid‟ah dalam ibadah khusus ini tidak selamanya karena kebodohan atau ketidaktahuan dan kesalahan informasi yang diterimanya. Hal ini bisa juga terjadi karena dorongan jiwa yang ingin lebih mendekatkan diri kepada Allah sehingga terjerumus kepada sikap berlebihan dalam melaksanakan ibadah. Contoh, melakukan takbiratul ihram dalam shalat dengan diulang-ulang beberapa kali atau mengangkat tangan tinggi-tinggi dalam takbir tersebut sampai di atas kepala.

Sebaliknya, perbuatan bid‟ah juga dapat dilakukan seseorang karena sifat malas dalam melakukan ibadah sehingga merobah ketentuan cara pelaksanannya. Bid‟ah juga dapat terjadi karena pengaruh tradisi dan adat yang ditinggalkan oleh leluhur, yang membawa rasa takut akan terjadi bencana jika dilanggar atau ditinggalkannya (Baca Q.S. al-Baqarah:170 dan al-A‟raf:28). Contoh, menanam kepala kerbau di tempat yang akan didirikan suatu bangunan sebagai persembahan kepada (sesuatu yang gaib) yang dianggap menguasai tempat tersebut, disertai dengan doa-doa dan mantera yang tidak dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW.

Oleh karena itu, kita seharusnya bersikap ekstra hati-hati dalam melaksanakan ibadah khusus (mahdhah) ini, dengan mendasarkan kepada petunjuk yang benar dan kekhusyukan jiwa yang tinggi agar selamat dari perbuatan bid‟ah yang menyesatkan yang ditolak oleh Allah SWT. Namun perlu diketahui, sebagian ulama berpendapat bahwa selain bid‟ah dhalalah yang dilarang, ada bid‟ah hasanah yang baik, yang tidak dilarang oleh agama, karena merupakan sunnah al- Khulafa al-Rasyidin (Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali) yang oleh Nabi SAW diperintahkan mengikutinya. Nabi SAW bersabda:

 “Hendaklah kamu mengikuti sunnahku dan sunnah al-Khulafa al-Rasyidin

yang mendapat hidayah” (HR. Abu Dawud dan Turmudzi).

Contoh  bid‟ah hasanah, antara lain:

1) Dua kali Adzan dalam shalat Jum‟at, seperti yang dilakukan oleh Khalifah Usman bin Affan, sedang Nabi SAW hanya satu kali adzan, yaitu sesudah khatib menyampaikan salam dan duduk di mimbar.

2) Shalat Tarawih berjamaah sebulan Ramadhan penuh dengan 20 rakaat dan Witir 3 rakaat, sebagaimana dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khaththab. Sedangkan Nabi SAW shalat Tarawih hanya 8 rakaat disertai Witir 3 rakaat.

3) Membukukan kitab suci al-Quran yang diprakarsai oleh Khalifah Abu Bakar kemudian disempurnakan oleh Khalifah Usman. Padahal Nabi SAW tidak pernah melakukan, apalagi memerin- tahkannya (Abbas. 1982:165).

Ibadah mahdhah atau ibadah yang berkaitan dengan hubungan langsung dengan Allah (ritual) ini terdapat dalam rukun Islam, seperti mengucapkan dua kalimah syahadat, shalat, zakat, puasa dan haji. Ibadah mahdhah dapat dibedakan antara yang bersifat badaniyah (fisik) dan maliyah (harta):

1) Bersifat badaniyah, seperti: bersesuci (thaharah) meliputi ibadah wudhu, mandi, tayammum, cara-cara menghilangkan najis, pemakaian   air   dan   macam-macamnya,   istinja‟,   azan,   iqamah, i‟tikaf, doa, shalawat, tasbih, istighfar, umrah, khitan, pengurusan jenazah, dan lain-lain.

2) Bersifat maliyah, seperti: qurban, aqiqah, al-hadyu, sedekah, wakaf, fidyah, hibah, dan lain-lain (Darajat, 1984:298).

b. Ibadah Umum (Ghair Mahdhah)

Ibadah ghairu mahdhah adalah ibadah yang jenis dan macamnya tidak ditentukan, baik oleh al-Quran atau Sunnah Nabi SAW, berupa perbuatan apa saja yang dilakukan oleh seseorang yang dibenarkan oleh agama. Ibadah jenis ini sering diartikan dengan: “Semua perbuatan yang diizinkan oleh Allah (dan Rasul)” (Putusan Tarjih, t.t.:276). Contohnya, bekerja mencari penghidupan yang halal (seperti mengajar, berdagang, bertani dan lain-lain), belajar / kuliah, menolong sesama, silaturrahim dan sebagainya.

Dalam ibadah umum (ghairu mahdhah) ini berlaku kaidah:

"Semua boleh dilakukan, kecuali yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya‟. Ibadah umum ini lebih berkaitan dengan semua kegiatan manusia, yang dalam terminologi ilmu fikih dikenal dengan muamalat (artinya: saling berusaha), yang jenisnya tidak dirinci secara detail, satu persatu. Hal ini mengingat, bahwa hubungan antar manusia dalam masyarakat selalu berkembang dari waktu ke waktu seiring dengan dinamika masyarakat, sehingga dalam muamalat ini oleh Islam cukup ditetapkn prinsip-prinsip dasarnya saja sebagai acuan pelaksanaannya.

Dengan sifat muamalat seperti ini, maka syariat Islam dapat terus-menerus memberikan dasar spiritual bagi umat Islam dalam menyongsong setiap perubahan yang terjadi di masyarakat, terutama di bidang ekonomi, politik, budaya dan sejenisnya (Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1999 – 2000:140).

Dalam aspek muamalat, Nabi SAW hanya meletakkan prinsip- prinsip dasar, sedangkan pengembangannya diserahkan kepada kemampuan dan daya jangkau pikiran umat. Lapangan atau obyek ibadah umum (ghairu mahdhah) ini cukup luas, meliputi aturan- aturan keperdataan, seperti hubungan yang berkaitan dengan ekonomi, jual beli, utang piutang, perbankan, pernikahan, pewarisan dan sebagainya. Juga aturan-aturan atau hukum publik, seperti pidana, tata negara dan yang semacamnya (Nurdin, et al., 1995:104)

Ibadah Ghairu Mahdhah yang dikenal sebagai bentuk muamalat, meliputi hubungan antar manusia, baik dalam kaitan perdata maupun pidana. Sebagai ibadah yang bersifat umum, cakupan ibadah ghairu mahdhah cukup luas, antara lain berkaitan dengan: (1) Hukum Keluarga (ahkam al-ahwal al-syakhsyiyah), (2) Hukum Perdata (al-ahkam al-maliyah), (3) Hukum Pidana (ahkam al-jinayah),(4) Hukum Acara (ahkam al-murafa‟ah), (5) Hukum Perundang-undangan, (6) Hukum Kenegaraan (al-ahkam al- dauliyah), (7) Hukum Ekonomi dan Keuangan (al-ahkam al- iqtishadiyah wal maliyah) (Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1999 – 2000:138-140).

3. Syarat Diterimanya Ibadah

Semua ibadah, baik yang khusus (mahdhah) maupun umum (ghairu mahdhah) mempunyai tujuan sama, yaitu ridho Allah. Hanya kepada Allah-lah semua ibadah ditujukan, karena hanya Dia-lah yang berhak menerima peribadatan dari semua makhluk yang diciptakannya. Agar semua ibadah yang ditujukan kepada Allah tersebut benar dan bernilai sebagai amal ibadah yang diterima oleh- Nya, disyaratkan memenuhi 2 hal sebagai berikut.

a. Dilakukan dengan niat yang ikhlas karena Allah semata.

 Diterangkan oleh Nabi Muhammad SAW:

“Sesungguhnya Allah tidak menerima amal (perbuatan) kecuali amal yang dikerjakan secara ikhlas dan ditujukan untuk mendapatkan ridha Allah” (HR. al- Nasa’i).

Dari segi bahasa, ikhlas berarti bersih atau murni, tidak ada campuran. Ibarat emas ialah emas tulen yang bersih dari segala macam campuran bahan-bahan lain. Suatu ibadah disebut ikhlas, jika

ibadah itu dilakukan murni karena Allah semata, tanpa dicampuri dengan maksud-maksud yang selain Allah, seperti ingin dipuji orang, ingin terkenal, dan sebagainya. Allah SWT berfirman:

 “Dan tidaklah mereka diperintah, kecuali untuk beribadah kepada Allah

dengan ikhlas, menjalankan agama dengan lurus” (Q.S. al-Bayyinah:5).

b. Dilakukan sesuai dengan ketentuan Allah dan contoh Rasul-Nya. 

Allah berfirman:

 “Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada-Nya” (Q.S. al-Kahfi:110).

Maksud amal saleh dalam ayat tersebut ialah amal yang sesuai dengan kehendak/petunjuk agama (as-Shiddieqy, 1963: 29). Ibadah yang dilakukan tidak sesuai dengan petunjuk agama, disebut bid‟ah dhalalah. Hukum bid‟ah dhalalah adalah sesat dan dosa.

4. Shalat: Ibadah Utama dan Istimewa

Sholat adalah ibadah yang sangat penting bagi orang Islam. Dari sekian banyak macam ibadah mahdhah, shalat adalah inti dari semuanya. Bahkan dibandingkan dengan semua macam ibadah yang lain sekalipun, shalat termasuk ibadah yang paling istimewa. Maka seharusnya setiap muslim dan muslimah menaruh perhatian khusus (serius) terhadap ibadah shalat dengan cara rajin dan taat dalam melaksanakannya.

Di antara keistimewaan dan kelebihan shalat ialah:

a. Shalat adalah ibadah badaniyah yang pertama kali diwajibkan oleh Allah, mendahului semua ibadah badaniyah yang lain.

b. Perintah shalat (lima waktu) diwahyukan di luar planet bumi, yaitu di hadirat Allah Yang Maha Tinggi, langsung tanpa melalui perantara malaikat Jibril, pada saat Nabi Muhammad SAW melakukan Isra‟ Mi‟raj memenuhi panggilan Allah SWT.

c. Shalat adalah tiang agama, sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW, “Barangsiapa mendirikan shalat, maka sesungguhnya ia telah mendirikan agama dan barangsiapa merusaknya, sesungguhnya ia telah merusakkan agama” (HR. Baihaqi dari Umar RA).

d. Dengan shalat seseorang dapat terhindar dari pebuatan jahat (fakhsya dan munkar), karena dirinya akan selalu ingat Allah sehingga akan timbul perasaan malu kepada-Nya untuk melakukan kejahatan yang bertentangan dengan ucapan dan harapan- harapan doa shalatnya (Q.S. al-Ankabut:45).

e. Shalat adalah ibadah yang paling keras perintahnya, melebihi kerasnya perintah untuk ibadah-ibadah yang lain. Dalam kondisi bagaimanapun, selama masih ada kesadaran ingat kepada Allah, seseorang diwajibkan melakukan shalat lima waktu. Sedangkan untuk ibadah-ibadah lainnya, seperti zakat hanya diwajibkan sekali dalam setahun atau setiap panen bagi zakat tanaman yang telah mencapai nishab. Sedangkan untuk puasa Ramadhan hanya satu bulan dalam setahun, dan haji hanya sekali seumur hidup.

f. Shalat adalah amal perbuatan manusia yang pertama kali diperhitungkan (dihisab) oleh Allah, dan semua amal yang lain bergantung pada hasil perhitungan shalatnya. Jika shalatnya baik, sempurnalah semua amalnya yang lain. Sebaliknya jika shalatnya tidak baik, menjadi rusaklah semua amalnya yang lain (HR. al- Thabrani).

g. Shalat adalah wasiat terakhir semua Nabi kepada umatnya. Termasuk Nabi Muhammad SAW. Di akhir hayatnya berwasiat: "Shalat, Shalat, Shalat!‟ (HR. Ibnu Jurair dari Ummu Salamah).

h. Shalat adalah saat yang paling dekat antara hamba dengan Allah, yaitu saat hamba bersujud dalam shalatnya. Nabi SAW berpesan agar kita memperbanyak doa dalam sujud (HR. al-Muslim, Abu Dawud dan al-Nasai dari Abu Hurairah).

i. Shalat adalah media untuk memohon pertolongan kepada Allah, sebagaimana diterangkan oleh Allah dalam Q.S. al-Baqarah:45:

 “Dan mohonlah pertolongan kepada Allah dengan sabar dan shalat. Namun sesungguhnya yang demikian itu adalah berat, kecuali bagi orang- orang yang khusyuk”.

j. Shalat adalah wujud rasa syukur manusia kepada Allah atas anugerah nikmatNya yang tak terhingga banyaknya. Hal ini diperintahkan oleh-Nya, salah satunya dalam Q.S. al-Kautsar: 1-2:

 “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka kerjakanlah shalat karena Tuhan-mu dan berkorbanlah” (Q.S. al- Kautsar :1-2).

k. Shalat menjadi syarat pertama dari kebahagiaan orang-orang beriman yang akan menjadi pewaris surga dalam kehidupan akhirat nanti (Q.S. al-Mukminun:1-11) (Tim Dosen PAI UM., 2002:103-105).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Seni Santri dalam berliterasi | Spesial Maulid Nabi dan Hari Santri

Forum diskusi santri Sementara ini literasi kerap berdomisili pada dunia perguruan tinggi, seolah santri tak ada tendensi untuk ikut menggali dan berpartisipasi. argumen literasi nyaris dilontarkan oleh para pejuang literasi untuk membumikan budaya literasi untuk kaum santri, tak heran itu semua dilakukan untuk menjembatani untuk sama-sama mewujudkan cita-cita bangsa untuk meningkatkan kapasitas insani. Momentum hari santri dan maulid nabi seyogyanya sudah menjadi barometer prestasi santri dikancah publik, beberapa fakta telah dihadirkan seharusnya menjadi energi terbarukan bagi santri, seperti munculnya gus menteri agama yang menguasai panggung demokrasi. Tak hanya itu, posisi-posisi strategis baik negarawan maupun ilmuan juga telah diisi oleh alumni santri yang terkadang enggan memutus rantai gelarnya sebagai santri. Pada era distrupsi ini, kehadiran santri sangat dinantikan. Santri yang memiliki jiwa dan mental kuat untuk menyongsong negeri ini menjadikan santri harus bangga dengan ...

Serambi Ramadhan Ke-9 | Ragam Praktek Hidup Asketik

  Fase dalam setiap manusia mengalami fase yang sama, meskipun dengan prosesnya yang berbeda. Dengan begitu, manusia harus memahami setiap prosesnya, self awareness, sefl love juga bekal yang baik. Manusia untuk berproses dengan baik harus mutlak menjalankan sesuatu yang naturalnya manusia harus mengalami, diantaranya :  1. Fasting (Puasa) Hampir semua agama/ makhluk melakukan puasa, baik dibungkus dengan ibadah maupun jalan ideologi, arti leterlijk dari puasa adalah Menahan demi panen yg besar, lelahnya ibadah akan panen manisnya iman, lelahnya belajar akan panen manisnya kepintaran, itulah diantara latarbelakang yang menjadi faktor utama.  2. Communal  Menjauh dari kerujunan/ uzlah, ini sudah banyak dipraktikkan oleh orang-orang besar. Para penulis kitab besar juga perlu uzlah untuk menciptakan kitab dengan sempurna, karena dengan kesendirian dan keheningan tercipta pemikiran yang mendalam.  3. Yogic asceticism  Secara amaliah kalau kita sebagai umat isla...

Serambi Ramadhan Ke-11 | Kasuistik Pemuda Dalam Prespektif Ramadhan

  Dalam skema penalaran berfikir, pemuda memiliki peran dominan terhadap penalaran-penalaran dialektikanya berlaku. Utamanya dalam berperan diera modern dan era highspeed komunikasi serta transparasi komunikasi. Hedon mengenai peran pemuda telah terbukti dari zaman sebelum indonesia merdeka ada golongan tua dan golongan muda. Meskipun demikian, dua golongan super natural tersebut bukan alasan mutlak untuk mendistraksi dialektika yang berjalan. Pemuda memiliki semangat dan kemauan bulat sedangkan para sesepuh golongan tua berhak memberikan dorongan dan motivasi penguat, bak kata-kata Ki Hajar Dewantara, Tut Wuri Handayani. Untuk itu, meletakkan dimana kita atas apa yang harus kita lakukan disituasi yang bagaimana, diras perlu kita fikirkan melalui forum-forum perkumpulan profetik dengan asas, cendekiawan, prinsip kebangsaan serta berpegang pada ideologi agama yang moderat.  Oleh karena itu, pemuda se kecamatan dampit dalam forum Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU IPPNU) mense...