Lahir dari keresahan akan ketergantungan tinggi terhadap pupuk kimia, minimnya pengolahan limbah organik, serta rendahnya partisipasi pemuda dalam sektor pertanian, EcoChar hadir sebagai jawaban yang tidak hanya teknis, tetapi juga sosial dan kultural.
Kepala Desa Sidodadi, Ernawanto menyampaikan bahwa belum ada program terstruktur yang melibatkan Karang Taruna dalam isu pertanian dan pengelolaan limbah. Padahal, mayoritas mata pencaharian warga Sidodadi adalah bertani dan beternak.
Ia menekankan pentingnya meningkatkan kesadaran dan partisipasi generasi muda terhadap mata pencaharian lokal, karena merekalah yang kelak akan menjadi pewaris desa. Kekhawatiran ini diperkuat oleh temuan di lapangan, di mana hasil pengukuran pH tanah menunjukkan angka 2,5 sangat asam dan tidak ideal untuk pertanian. Berdasarkan wawancara dengan ketua kelompok tani serta beberapa petani desa, penyebab utama kondisi tersebut adalah penggunaan pupuk kimia secara berlebihan, yang diperparah oleh terbatasnya akses terhadap pupuk organik serta distribusi pupuk kimia dari pemerintah.
Di balik tantangan tersebut, Sidodadi menyimpan potensi besar berupa bioresource lokal, yakni limbah dari peternakan sapi perah. Limbah ini dapat diolah menjadi biochar dan pupuk organik cair (POC), yang mampu meningkatkan kualitas tanah sekaligus mengurangi ketergantungan terhadap pupuk kimia. Maka lahirlah pendekatan EcoChar yang memadukan teknologi sederhana, sistem kerja kolektif, dan edukasi partisipatif. Program ini dirancang agar pemuda desa tidak hanya menjadi pelaksana, tetapi juga perancang, pengelola, dan pewaris sistem yang mereka bangun sendiri. Setiap tahapan kegiatan dikemas dengan cara yang menyenangkan, fleksibel, dan regeneratif, sehingga membangun rasa kepemilikan dan kebanggaan lokal.
Program EcoChar tidak terlepas dari peran lima mahasiswa Universitas Negeri Malang: Binti Aulia Azizah, Hizammia Kanaku, dan Fedyca Ananta Difalsafillah dari Prodi S1 Ilmu Kesehatan Masyarakat, Hannata Wijayanto dari Prodi S1 Teknik Mesin dan Industri, serta Moh. Faqih Akbar dari Prodi S1 Teknik Sipil. Mereka merancang program dalam tiga subprogram utama: EcoChar Skill-Up sebagai ruang pelatihan dan peningkatan kapasitas, EcoChar Action sebagai tahap produksi dan penerapan biochar dan POC di lahan pertanian, serta EcoChar Legacy sebagai sistem keberlanjutan yang mencakup branding, SOP kerja, dan kemitraan lintas sektor.
Hasil dari program ini sangat nyata dan berdampak. Terbentuklah Tim Jawara EcoChar dari Karang Taruna, yang berhasil memproduksi 8 kg biochar dan 15 liter POC pada tahap awal. Pengukuran ulang pH tanah menunjukkan peningkatan signifikan dari 2,5 menjadi 5,5. Modul panduan mitra berhasil disusun untuk mendukung transfer pengetahuan, dan Tim Jawara mendapat dukungan penuh dari pemerintah desa berupa perizinan, fasilitas, serta penerbitan SK resmi. Tim juga berhasil membuat branding produk lokal dan memasarkan melalui e-commerce, menyusun SOP kerja yang disahkan oleh Kepala Desa, serta menjalin kerja sama dengan petani, peternak, dan BUMDes sebagai wujud keberlanjutan program.
EcoChar bukan sekadar tentang pupuk. Ini adalah tentang pemuda yang bergerak, desa yang bernapas, dan sistem yang bisa diwariskan. Dengan semangat gotong royong dan pendekatan yang menyenangkan, Sidodadi membuktikan bahwa inovasi besar bisa lahir dari desa kecil, asal dijalankan bersama, dengan hati, keberanian, dan kebanggaan lokal.




Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkontribusi, selalu ikuti kami melalui sebuah tulisan